Berwisata ke Bogor tak hanya sekadar menikmati kuliner khas Sunda, tetapi juga bisa menjadi pengalaman untuk menelusuri sejarah, salah satunya melalui perjalanan napak tilas kopi. Sebagai salah satu kota tertua di Indonesia, Bogor menyimpan jejak historis yang kaya, termasuk kisah penyebaran kopi yang menarik untuk diulik.
Pada Sabtu pagi (18/1), kami memulai tur bersama Bogor Historical Walk, berkumpul di Vihara Dhanagun, kawasan Suryakencana. Meski gerimis menyapa sejak awal, semangat para peserta tetap tak surut. Dipandu oleh Kang Ian, perjalanan sepanjang 3,5 jam ini membawa kami menyelami kisah kopi Malabar hingga praktik tanam paksa pada masa kolonial Belanda.
Awal Perjalanan: Kisah Kopi Malabar
Kang Ian memulai tur dengan cerita menarik tentang kopi Malabar yang ternyata tidak berasal dari tanah Priangan. Kisahnya bermula dari Baba Budan, seorang peziarah asal India yang mencuri biji kopi di Arab dan menanamnya di Teluk Malabar. Dari sana, kopi menyebar hingga Bogor melalui praktik Preangerstelsel, yaitu sistem tanam paksa kopi yang diberlakukan oleh VOC.
Namun, sistem ini meninggalkan luka bagi para pekerja. Muncul indikasi pemberontakan yang menyebabkan hancurnya pohon-pohon kopi akibat penyakit karat daun. Pada masa itu, Kebun Raya Bogor sempat menjadi lokasi penelitian kopi, tetapi kini tak ada lagi pohon kopi asli yang tersisa di kota ini.
Menyusuri Toko Kopi Legendaris di Suryakencana
Perjalanan berlanjut ke kawasan Suryakencana, tempat berdirinya toko-toko kopi bersejarah. Toko Agus, yang dikenal dengan Kopi Cap Teko, menyambut kami dengan aroma kopi robusta khas Lampung dan Aceh. Di sini, proses penggilingan hingga pengemasan masih dilakukan secara manual. Kopi dengan dominasi dark roast ini menawarkan rasa pahit yang khas dengan sedikit sentuhan asam.
Tak jauh dari Toko Agus, ada Toko Aladin yang menjual biji kopi Arabika Flores Bajawa, lengkap dengan tingkat sangrai medium dark roast. Kami mencoba kopi ini dengan metode tubruk, menghasilkan rasa kuat dengan nuansa asam manis khas buah berry.
Melangkah ke Museum Tanah dan Pertanian
Destinasi berikutnya adalah Museum Tanah dan Pertanian, yang menyimpan dokumentasi sejarah masuknya teh dan kopi di Bogor. Museum ini menampilkan berbagai jenis kopi Indonesia, seperti Arabika Gayo, Java Preanger, hingga kopi lanang yang dahulu dikonsumsi oleh rakyat biasa di era VOC.
Penutup di Toko Kopi Berusia 100 Tahun
Langkah terakhir membawa kami ke Toko Bah Sipit Cap Kacamata di kawasan Empang. Toko yang berdiri sejak 1925 ini menjadi saksi sejarah bagaimana kopi dari Bogor dibawa hingga ke tanah suci oleh jemaah haji. Dengan pemugaran modern, toko ini tetap mempertahankan nuansa tradisionalnya.
Kami menutup tur dengan segelas kopi Vietnam drip, yang menghadirkan cita rasa klasik dengan sentuhan karamel dari kental manis. Perjalanan ini bukan sekadar tentang menikmati kopi, tetapi juga menghidupkan kembali sejarah panjang kopi di Bogor, sebuah kisah yang tak lekang oleh waktu.